Metodologi Proyek Kebangkitan Ummat
PASAL PERTAMA
Prinsip-Prinsip Proyek Kebangkitan yang Sistematis
Kewajiban
yang paling mendesak bagi para aktivis di bidang dakwah, serta para aktivis dalam
pembangunan dan pelaksanaan proyek kebangkitan ialah dengan mengetahui
prinsip-prisnsip mendasar mengenai persepsi Imam Syahid Hasan Al-Banna.
Persepsi tersebut mengemukakan mengenai proyek kebangkitan, menganalisis jalan
yang ditempuh dalam jalan-jalan pemikiran dakwah kontemporer yang sekaligus
untuk merancang kebangkitan, mengenali efektivitas metode yang digunakan dalam
pergerakkan untuk memenuhi syarat-syarat tercapainya suatu kebangkitan, lalu
melanjutkan jihad yang telah dimulai dengan mengubah proyek kebangkitan tersebut
menjadi tataran realita.
Secara
global dapat dikatakan bahwa tahapan-tahapan yang dilalui secara sistematik
oleh Hasan Al-Banna dalam mencanangkan kebangkitan adalah :
I. Bagian Pertama; Merenungkan Tantangan yang
Dihadapi Ummat
Melihat kondisi
ummat sekarang ini, terlebih di kawasan Timur Tengah, yang cukup mengguncangkan
jiwa, mengundang rasa duka dalam hati, serta menyita perhatian publik, semakin
memperbesar tekad para pengemban dakwah untuk bangkit, beramal, serta menempuh
jalan kesungguhan dan pembinaan. Meskipun tak jarang aral menghadang, menggembosi
semangat orang yang berminat, tetapi para penemban dakwah memegang teguh visi
serta misi mereka untuk membantu meringankan tantangan yang telah dihadapi
ummat.
“…. Untuk hal
itu, kita mewakafkan diri kita lalu mengadu kepada Allah SWT. serta memuji-Nya
agar Dia menjadikan kita sebagai para aktivis dakwah yang berjuang untuk
menegakkan agama-Nya.” (Risalah Al-Muktamar
Al-Khamis)
Kondisi ummat
seperti yang digambarkan oleh Imam Syahid Hasan Al-Banna tersebut mengharuskan
kita bertindak sebagaimana berikut :
1.
Tekun dalam memaparkan kondisi ummat Islam dari
berbagai aspeknya.
2.
Mendiagnosa penyakit-penyakitnya.
3.
Mencari solusinya.
II. Bagian Kedua; Menganalisis Sejarah dan
Realitas
Sejarah manusia
merupakan terminal kedua bagi para peneliti tentang kebangkitan, baik di masa
sekarang maupun di masa lalu. Karena itu, orang yang bergerak untuk mengadakan
perubahan sosial di masyarakat dan ummatnya ahrus memahami sejarah kemanusiaan
agar terhindar dari kesalahan yang fatal. Sebab sejarah merupakan guru
terpenting dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Darinya, para pemikir membuat
teori-teori dan persepsi tentang perjalanan manusia sekaligus mengambil
pelajaran berharga.
Imam Syahid
Hasan Al-Banna membaca sejarah dengan pandangan tajam, layaknya seorang qaid
(panglima) yang meneliti dan mengkaji sesuatu untuk keberhasilan proyek yang
direncanakannya.
III. Bagian Ketiga; Menyimpulkan Berbagai
Peristiwa
“…. Saya
beranggapan bahwa para pembaca pernyataan ini akan terbagi menjadi dua
kelompok. Pertama, orang yang mengkaji sejarah perjalanan berbagai bangsa dan
tahapan-tahapan kebangkitannya. Orang ini akan meyakini sepenuhnya pernyataan
tersebut. Kedua, kelompok yang tidak dianugerahi kesempatan untuk itu. Karena itu,
jika mau, hendaklah ia mengkajinya, agar ia mengetahui bahwa saya tidak
mengatakan kecuali yang benar, dan jika mau, hendaklah percaya bahwa saya tidak
menginginkan perbaikan kecuali semampu saya. Itulah kebangkitan yang gemilang. Sekarang
apakah kita berjalan sesuai dengan sunnatullah yang berlaku di alam dan
kehidupan sosial?” (Risalah Hal Nahnu
Qaumun ‘Amaliyyuun).
Analisis sejarah,
ide kebangkitan, dan undang-undang yang bijaksana adalah unsur-unsur terpenting
yang diisyaratkan oleh Imam Syahid Hasan Al-Banna.
IV. Bagian Keempat; Cara Berinteraksi dengan
Berbagai Pelajaran yang Disimpulkan
Syarat pertama
dalam berinteraksi secara benar dan manhaji dengan sunnatullah yang berlaku
pada individu, masyarakat, dan ummat adalah pemahaman. Yakni harus memahami
sunnah-sunnah dan pelajaran-pelajaran tersebut dengan pemahaman yang benar dan
integral. Juga memahami cara beramal sejalan dengan undang-undang Illahi. Atau dengan
kata lain memahami “Fiqhus Sunnah”. Dari situ kita dapat menyimpulkan beberapa
kaidah sosial dan pelajaran-pelajaran tentang peradaban.Pilar-Pilar Kebangkitan Ummat
Target utama tarbiyah (pendidikan)
adalah membentuk kepribadian muslim dan menyiapkan kader yang akan mengemban
kewajiban menyampaikan dan menyebarkan fikrah, serta memantapkan proyek
kebangkitan, agar dapat dimulai sebuah kehidupan baru yang mulia di atas
dasar-dasar Islam. Hasil terpenting yang kita prediksikan akan dihasilkan oleh
tarbiyah adalah munculnya beberapa kader yang merupakan representasi dari
nilai-nilai luhur. Mereka menerapkan nilai tersebut dan berjuang untuk
menegakkannya.
Bila kita mengkaji dengan cermat apa yang telah diucapkan oleh Imam Syahid Hasan Al-Banna, kita akan mengetahui bahwa ia telah menetapkan “Standar Nilai” sebagai kriteria yang seharusnya dimiliki oleh manusia, baik secara individu, maupun keberadaannya dalam sebuah jamaah.
Bila kita mengkaji dengan cermat apa yang telah diucapkan oleh Imam Syahid Hasan Al-Banna, kita akan mengetahui bahwa ia telah menetapkan “Standar Nilai” sebagai kriteria yang seharusnya dimiliki oleh manusia, baik secara individu, maupun keberadaannya dalam sebuah jamaah.
Salam dari Penyangga Langit
Written by: Ahmad Tohari
Banyumas, 19 Juni 2003
Karena lelah setelah sehari penuh banyak
kegiatan di kampus, usai magrib Markatab ingin tidur barang sejenak. Sambil
menyandar di kursi ruang duduk, dosen muda itu menarik semua anga-angan dan
pikiran ke dalam dirinya agar kantuk cepat datang. Perlahan Markatab mulai
merasa keluar dari alam sadar dan masuk ke susasana penuh ketenangan. Ambang tidur
yang serasa sangat nikmat mulai merayap menyelimuti dirinya. Dalam hitungan
detik Markatab merasa akan melayang, larut, lelap. Namun pada detik yang sama pintu
depan rumahnya diketuk orang. Pada batas antara tidur dan jaga, Markatab
mendengar suara orang memanggil namanya.
Dengan
kesadaran yang belum sepenuhnya pulih, Markatab bangun. Kepalanya masih terasa
pusing ketika dia berjalan ke arah pintu. Di sana sudah berdiri Kang Dakir, dan
Markatab menyilakannya masuk.
“Saya
diutus Pak Marja,” ucap Kang Dakir setelah duduk. “Pak Marja sedang punya perlu
dan Bapak dimohon ikut hadir di rumahnya bersama seluruh tetangga.”
“Apa
hajat Pak Marja kali ini?”
“Selamatan
untuk anaknya yang mau berangkat jadi TKI di Korea. Dan Kyai Tongat yang akan
memimpin tahlilnya.”
(Tentu
saja Kiai Tongat, karena orang tua itulah yang paling fasih dalam memimpin
tahlil. Dia juga tidak pernah lupa mengirim hadiah pahala bacaan Kitab bagi
para nabi, para wali, dan para arwah leluhur. Juga menghadiahkan pahala bacaan
Kitab kepada para malaikat penyangga langit).
“Waktunya?”
“Sekarang,
Pak. Bapak memang terlambat diundang. Kami mohon maaf. Para tetangga sudah
banyak yang hadir.”
“Baik.
Insya Allah saya menyusul.”
“Sepeninggal
Kang Dakir, Markatab mengusap-usap kening yang masih terasa pusing. Tapi Markatab
langsung bersiap; ganti baju berlengan panjang, pakai kopiah, lalu berpamitan
kepada istrinya. Ketika melangkah keluar, udara kemarau yang dingin meraba
kulitnya. Langit penuh gemintang tapi menjadi samar oleh lampu jalan.
Pak
Marja punya perlu. Artinya, Pak Marja akan menyelenggarakan kenduri. Selamatan.
Pasti akan ada tahlilan, ada makan bersama sesudahnya. Yang tetap menjadi hal
yang paling berkesan bagi Markatab, dalam setiap tahlilan di kampungnya para
malaikat penyangga langit pun dikirimi hadiah pahala bacaan Kitab.
Ketika
masih kanak-kanak Markatab tidak pernah hirau akan hal ini. Dulu, tahlilan bagi
Markatab hanya punya arti yang begitu sederhana, makan enak. Sebab setiap
pulang dari tahlilan, ayah Markatab selalu membawa pulang berkat, nasi dengan
lauk-pauk istimewa. Dan malaikat penyangga langit? Ah, makhluk itu mungkin
berwujud seperti manusia tapi amat sangat jangkung. Mereka selamanya menyangga
langit agar tidak runtuh menimpa bumi.
Setelah
masuk Madrasah, Markatab tahu ternyata tahlilan tidak selamanya disukai orang. Gurunya
sendiri tidak membenarkan tahlilan dan suka menyindir-nyindir orang yang
melakukan kebiasaan itu. Tapi di kampungnya tahlilan berjalan terus, hadiah
pahala bacaan Kitab buat para nabi, para wali, dan arwah para leluhur berjalan
terus. Juga hadiah untuk para malaikat penyangga langit berjalan terus. Setiap ada
tahlilan, Markatab yang sudah tumbuh menjadi pemuda selalu ikut menjadi
peserta. Alasannya bersahaja. Markatab ingin tetap menjadi bagian dari denyut
kehidupan kampungnya.
Atau
karena Markatab ingin bersama para tetangga memberikan hadiah pahala bacaan
Kitab kepada para malaikat penyangga langit. Hadiah yang sama bagi para nabi,
wali, dan arwah leluhur itu memang penting, tetapi untuk para malaikat
penyangga langit? Itu terasa amat mengesankan.
Ah,
makhluk gaib ini ternyata selalu hadir dalam angan-angan Markatab sejak dia
masih anak-anak. Dan gambaran khayalinya tentang para penyangga langit itu pun
terus berubah-ubah. Setelah menjadi murid SMA dan tahu langit bukanlah
tendaamat besar, biru, bulat lengkung, sehingga tak memerlukan penyangga,
Markatab jadi bingung. Bahkan apa yang dimaksud dengan “langit” dalam Malaikat Penyangga
Langit membuat Amrkatab makin pusing.
Mungkinkah
langit adalah atmosfer yang membungkus bola bumi? Ataukah langit adalah batas
tata surya, batas rasi bintang, atau malah batas alam semesta, yang tak
terbayangkan besarnya karena di dalamnya ada jutaan tata surya, sehingga bola
bumi hanyalah debu yang tak ada artinya?
Batas-batas
alam raya, itukah yang namanya langit? Kalau ya, bagaimana para malaikat
menyangga? Entahlah, yang jelas Markatab harus mengubah gambaran tentang para
penyangga langit itu. Mereka pastilah bukan semacam makhluk amat jangkung yang
berpijak di bumi dan selalu berdiri dengan posisi kedua tangan tetap menyangga
ke atas seperti dikatakan Kiai Tongat sejak Markatab masih anak-anak. Para penyangga
tentu tidak akan memilih bumi sebagai tempat berpijak untuk menyangga langit,
karena bumi tak sampai sebesar debu bila dibandingkan dengan besarnya alam
semesta.
“Pak
Markatab, Bapak mau kemana? Ini rumah Pak Marja.” panggil Kang Dakir.
Markatab
tergagap dan berhenti, lalu menoleh ke belakang. Mengusap-usap wajah untuk
mengusir sisa-sisa lamunan yang membawa pikirannya mengembara demikian jauh. Dan
sadarlah dia bahwa rumah Pak Marja sudah beberapa langkah terlewati. Untung Kang
Dakir sempat melihatnya.
“Masa
iya Bapak lupa rumah Pak Marja?”
“Ah,
tentu tidak. Ini tadi karena saya terus berjalan sambil menunduk.”
“Begitu?
Nah, silakan masuk. Kami hanya tinggal menunggu Bapak dan Kiai Tongat.”
Kang
Dakir benar. Di ruang depan rumah Pak Marja yang digelari tikar plastik sudah
hadir semua tetangga. Pak Marja menyambut Markatab dan menyilakan duduk bersila
di tempat yang masih tersisa di dekat pintu utama yang dibiarkan terbuka.
Menunggu
kedatangan Kiai Tongat, orang-orang ngobrol kesana-kemari. Dan Markatab harus
bersabar terhadap Kang Dakir yang kemudian duduk di sebelahnya sambil merokok. Bau
asap terlalu menyengat. Kemarau meniupkan angin dingin yang masuk melalui
pintu, menyentuh daun telinga Markatab, membuat kantuknya kembali datang. Apalagi
Kiai Tongat yang memang sudah tua belum juga muncul, sehingga Kang Dakir diminta
menjemput sampai ke rumahnya.
Ketika
terdengar ketukan-ketukan tongkat di tanah dan bunyi terompah yang
diseret-seret, semua orang tahu Kiai Tongat akan segera masuk, Markatab hanya
setengah menyadari situasi terakhir karena kantuknya memberat. Namun Markatab,
meski hanya samar, masih melihat bagaimana Kiai Tongat duduk bersila.
Kacamatanya menggantung dan punggungnya melengkung ke depan. Bibirnya mulai
komat-kamit, mungkin Kiai Tongat sedang menjelaskan maksud Pak Marja
menyelenggarakan selamatan. Mungkin. Selebihnya Markatab tak melihat dan tak
mendengar apa-apa lagi. Markatab hanya merasa dirinya berada dalam suasana yang
samasekali asing. Ringan, jernih, teramat lengang, namun terasa begitu nyaman
dan nkmat. Dan Markatab terkejut ketika sadar keberadaan dirinya tidak
memerlukan gerak apa pun termasuk bernapas.
“Salam
dan kasih sayang Allah serta kemudahan-Nya untukmu.”
Markatab
kaget karena suara itu – atau apalah namanya – langsung bergema dalam
kepalanya, tidak merambat melalui udara.
“Dan
bagimu salam…” jawab Markatab. Terputus, karena Markatab kaget lagi setelah
tahu dia telah menjawab bukan dengan suara yang keluar dari mulutnya.
“Selamat
datang. Kami adalah para penyangga langit. Anda dan kami sama-sama ciptaan
Tuhan.”
“Aku
tidak melihat Anda sekalian.”
“Ya,
tentu saja. Kami pun tidak melihat Anda. Kita tidak lagi memerlukan pancaindra.
Kehadiran Anda kini tanpa materi seperti halnya kami. Kini kita sama, hanya
getaran. Anda dan kami hadir tanpa matra ruang maupun waktu.”
“Kalian
tahu di mana saya berada kini?”
“Ah,
itu pertanyaan makhluk yang masih meruang dan mewaktu. Padahal Anda hadir
dengan fungsi ruang dan fungsi waktu yang dinolkan. Tetapi baiklah. Katakan,
Anda tetap seorang makhluk bumi, maka kini Anda berada di tempat sujud terjauh,
sangat jauh di luar bumi, sejauh jarak Anda ke batas ruang di mana makhluk
masih mungkin terwujud; tepian alam raya.”
“Itu
artinya sejauh milyaran tahun cahaya dari bumi?”
“Dan bagaimana kalian menyangga langit”
tanya Markatab.
“Ah, itu hanya istilah untuk para
makhluk bumi….”
“Tunggu. Harap kalian tidak mengatakan
itu hanya istilah untuk makhluk bumi karena itu bahasa wahyu.”
“Kami tahu. Dan wahyu memang diturunkan
dalam bahasamu, bahasa bumi. Bila tidakm bagaimana kalian bisa memahaminya? Nah,
sekarang kami akan mengatakan apa tugas kami. Kami tidak menyangga langit
seperti yang kalian bayangkan. Tugas suci kami adalah menahan daya luar biasa
besar yang akan melumat alam raya ini dan memampatkannya untuk kembali kepada
bentuk asalnya, yakni benda yang hanya sebesar gabah. Itu akan terjadi bila
alam raya yang bendawi bersinggungan dengan alam antibenda yang melingkupinya.”
“Kalian menjadi pembatas antara materi
dan yang antimateri?”
“Ya. Maka kami adalah penjaga batas antara
ada dan tidak ada. Dan inilah tugas yang mahadahsyat beratnya dan tak ada tugas
lain yang menandinginya. Kelak bila tugas kami selesai, alam raya ini akan lenyap
dalam ketiadaan. Ruang dan waktu tak lagi berwujud, bahkan juga materi. Semuanya
akan lenyap, sehingga yang ada hanya tinggal Sang Maha Ada."
Markatab mengerdil menjadi noktah, atau
lebih kecil lagi. Dia teringat teori ledakan besar, supernova, lubang hitam. Tapi
kemudian Markatab terkejut dan tersadar dari tidurnya yang sambil duduk. Indranya
terasa mulai bekerja. Tubuhnya merasakan sentuhan Kang Dakir yang duduk di
sampingnya. Matanya melihat semua yang hadir duduk khusyuk. Dan telinganya mendengar
Kiai Tongat yang tua dan rapuh menyerukan: “Mari kita kirimkan hadiah pahala
bacaan Kitab bagi para malaikat penjaga langit.”
Markatab gemetar. Dan mungkin Markatab
tak menyadari dirinya menangis. Terharu karena punya kesempatan ikut mengirim
hadiah pahala bacaan Kitab kepada para penyangga langit. Tanpa kepatuhan mereka
kepada Tuhan, ruang dan waktu serta segala sesuatu yang ada di dalamnya akan
lenyap. Terharu karena Markatab merasa dirinya pernah menerima salam langsung
dari para penyangga langit itu.
Langganan:
Postingan
(
Atom
)